Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia
REGISTRASI ANGGOTA
Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia
REGISTRASI ANGGOTA

Refleksi Akhir Tahun DPW APPSI JABAR, dan Kondisi Perpasaran di Jawa Barat Tahun 2022

Seiring dengan mereda nya kasus Covid 19 yang telah memporakporandakan sendi – sendi perekonomian bangsa tidak terkecuali Pasar Rakat / tradisional sebagai salah satu infrastruktur ekonomi nasional memperoleh pukulan besar. Hal yang paling signifikan pukulan tersebut, dapat dilihat dari turunnya nilai transaksi di dalam pasar pada titik terendah selama 50 tahun terakhir.

Nilai transaksi di beberapa pasar, khusus untuk bahan pokok mengalami penurunan antara 40% sampai dengan 60%. Bahkan di beberapa pasar nilai transaksi pedagang ada yang hanya tinggal 30%

Pada saat masih diberlakukan PPKM nilai transaksi paling rendah dialami oleh para pedagang pasar untuk komoditas pakaian yaitu hanya mencapai 20% sampai 30% saja. Dampak dari kondisi itu tidak heran kalau ada pasar di Kota Bandung hanya menyisakan 479 orang pedagang dari 2.500 kios yang beroperasi sebelum Covid 19. Sebab komoditas pakaian praktis, dalam dua kali lebaran Idul Fitri tahun 2020 dan 2021 dilarang untuk buka berjualan dengan alasan menjaga kerumunan orang.

Di lain pihak, persoalan yang mewarnai dinamika di dalam pasar rakyat di Jawa Barat adalah revitalisasi pasar yang melibatkan pihak ke 3, cenderung telah menempatkan pedagang sebagai korban.

Kecenderungan itu, tidak terlepas dari lemahnya keberpihakan dan miskinnya pemahaman para pejabat di tingkat Kabupaten / Kota tentang essensi revitalisasi pasar, yang melihat bahwa revitalisasi pasar hanya sebatas fisik semata, tidak dilakukan secara utuh, meliputi aspek revitalosasi lainnya, yaitu revitalisasi manajemen, ekonomi dan sosial budaya.

Dari beberapa kejadian revitalisasi pasar yang melibatkan pihak ke tiga, cenderung berakhir dengan banyak menyisakan yang merugikan pedagang. Sekedar contoh, pertama, ada program revitalisasi pasar yang baru selesai 8 tahun dimana pedagang telah menyetor uang muka dalam jumlah 6 milyar lebih.

Kedua, ada juga proses revitalisasi pasar dimana pedagang telah dipungut uang muka sampai mencapai puluhan milyar rupiah dan saat ini telah memasuki tahun ke tiga, tapi belum ada kegiatan pembangunan fisik secara nyata.

Ketiga, di salah satu Kabupaten di Jawa Barat, pedagang digugat oleh Mantan Kuasa Direksi pengembang sebesar 100 milyar rupiah, lantaran menolak revitalisasi pasar, yang disebabkan pengembang melakukan penetaoan harga sepihak yang tidak terjangkau oleh pedagang. Tingginya harga kios tersebut, tidak lain karena pembangunan pasar disatu paket kan dengan pembangunan terminal pasar. Dimana beban biaya pembangunan terminal tersebut, dibebankan kepada paket pembangunan pasarnya itu sendiri

Keempat. Persoalan reribusi terus naik tanpa memoerhitungkan kemampuan pedagang yang sedang mengalami penurunan nilai transaksi, dan timbal balik dari retribusi kurang diimbangi oleh pelayanan bagi kepentingan pasar dan pedagang pasar.

Titik lemah persoalan pasar lainnya adalah pengelolaan pasar. Banyak di antara para kepala pasar sebagai pengelola pasar masih memakai cara berpikir lama, yaitu bahwa mengelola pasar itu sebatas memungut retribusi. Tapi mengabaikan pengelolaan pasar sesungguhnya. Retribusi kebersihan dipungut tapi pasar kotor, retribusi keamanan dipungut tapi pasar tidak aman.

Persoalan keberpihakan pemerintah, sebenarnya untuk tingkat pemerintah Pusat dan Provinsi sudah besar, sebagian contoh beberapa pasar dilakukan revitalisasi melalui skema bantuan keuangan Pusat dan Provinsi, tapi karena urusan rumah tangga pasar berada di tangan Pemerintah Kabupaten / Kota, maka setelah selesai dibangun pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah Kabupaten / Kota yang bersangkutan. Di situlah kelemahan pasca pembangunan, karena pasar yang baru dibangun dikelola dengan cara cara lama yang tidak profesional.

Dengan demikian, kalau persoalan persoalan yang terjadi di dalam seperti dalam uraian atas terus dibiarkan tanpa penanganan yang serius, maka kondisi pasar dan pedagang pasar akan semakin mengalami kesulitan besar, dengan kecenderungan potensi kios tutup akan semakin besar. Padahal pasar, merupakan benteng terakhir bentuk ekonomi kerakyatan yang selaras dengan Pasal 33 UUD 1945. Di lain pihak, pembiaran kondisi pasar dan pedagang pasar demikian, ditengarai akan semakin membuka tumbuh dan berkembangnya monopoli penguasaan pangan pokok berada pada segelintir orang dari hulu sampai hilir.

Wallohualam bisahowab

Bandung, 31 Desember 2022

NANDANG SUDRAJAT
Ketua DPW APPSI JABAR

Leave a Reply