Menurunnya tingkat Kunjungan, volume dan nilai transaksi di Pasar pasar rakyat mulai terlihat dampaknya. Beberapa kios bahan pokok di Pasar Pertokoan Kota Subang mulai tutup alias tidak ada kegiatan perdagangan lagi. Kondisi demikian sangat merisaukan DPW APPSI Jabar yang sejak beberapa bulan lalu sudah mengangkat ini ke permukaan agar memperoleh perhatian semua pihak, khususnya para stake holdres perdagangan dan Pemerintah.
Dari laporan Komosariat APPSI Pasar Pertokoan Subang Haji Ade menjelaskan, bahwa kondisi sepinya pengunjung sudah berlangsung hampir 5 bulan. Tetapi belum ada perhatian, apalagi tanda tanda pemerintah daerah melakukan upaga nyata menolong para pedagang agar bisa bangkit dari sepinya pembeli.
Di tempat terpisah, H Nandang Sudrajat selaku Ketua DPW APPSI Jabar yang juga sebagai Sekjen DPP PAPERA mengakui, bahwa dampak dari rendahnya nilai transaksi di dalam pasar rakyat, mulai terlihat banyaknya kios kios yang tutup dengan jumlah antara 30% sampai 50%, dari kios yang ada. Kalaupun masih ada yang bertahan, mereka melakukan rasionalisasi pegawainya dari awalnya 4 sampai 5 orang, hanya menjadi 1 orang, sebagaimana dilakukan oleh Pak Pujo salah seorang pedagang pakaian di Pasar Baru Kota Bandung. “Kami sudah tidak mampu bayar pedagang,” tegasnya.
Kasus Subang merupakan salah satu contoh nyata dampak rendahnya nilai transaksi yang terjadi di dalam pasar pasca Covid mereda.
Lebih lanjut Nandang menegaskan, bahwa kondisi ini sebenarnya telah dimuat dalam majalah APPSI, PEDAGANG MERDEKA, dan di rilis di beberapa media online line, tapi sepertinya pemerintah daerah Kabupaten / Kota sebagai pihak yang mempunyai wewenang dalam urusan rumah tangga pasar cenderung abai dan rendah kepedulian.
Semua pedagang di pasar pasar yang telah di kunjungi, rendahnya nilai transaksi di pasar, rata rata berkesimpulan sebagai akibat daya beli yang rendah.
“Dari sekian pihak terkait yang merespon cepat atau laporan kondisi yang terjadi di dalam pasar, hanyalah Dinas Indag Jabar, dengan cara mengadakan zoom dengan 7 Kota yang pasarnya menjadi pantauan Kementerian Perdagangan RI, tapi dari 7 Kota tersebut, cenderung membuat laporan asal bagus dan bapak atau ibu senang. Hanya satu Kota peserta zoom yang mengakui tingkat kunjungan rendah yaitu dari Dinas Kota Bogor. Pola laporan ABS atau IBS itu yang merusak kondisi akan semakin parah, karena pimpinan di atasnya akan mengambil kebijakan salah juga, lantaran inputannya yang salah,” tegas Nandang
Kalau memang rendahnya tingkat transaksi di pasar akibat daya beli rakyat rendah, ini harus segera memperoleh perhatian dari Pemerintah Pusat, bagaimana agar daya beli rakyat segera meningkatkan. Intinya harus ada kebersamaan dan kepedulian semua pihak dengan cara gerak cepat sebelum kondisi lebih parah.