Oleh Zulfata (Kepala Kajian Strategis DPP APPSI)
Sungguh memilukan ketika merenungkan fenomena yang terjadi pada pasar tradisional, ia ramai dikunjungi oleh pejabat publik. Mulai dari kepala desa, bupati/wali kota, gubernur, menteri hingga presiden sekalipun. Namun pada kenyataanya nasib pasar tradisional masih saja mengalami sepi pengunjung, kumuh, mengalami ketimpangan pembangunan hingga jauh dari kata kesejahteraan.
Konon lagi saat mencermati pasar dalam kacamata yang lebih praqmatis, dimana pasar cenderung dijadikan sebagai pangung “politisi bertopeng”, arena pencitraan hingga ladang monopoli yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tapi pada kenyataannya saat ini kondisi pasar tradisional secara skala nasional masih dipandang sebelah mata peran dan fungsinya dalam upaya memperkokoh praksis ekonomi kerakyatan.
Diakui atau tidak, pasar tradisional rentan politisasi tanpa benar-benar berkmaksud membenahi pasar tradisional itu sendiri. Ibarat sapi glonggongan, pasar tradisonal hanya dijadikan sebagai tempat mengambil manfaat secara tidak wajar tanpa memperhatikan secara serius terkait nasib pasar tradisional itu sendiri. Sementara itu, pasar tradisional selalu mengalami hantaman dari berbagai kebijakan ekonomi nasional maupun internasional. Tetap saja berbagai persoalan tersebut berdampak dan mengakibatkan pasar tradisional mengalami goncangan penuh dengan ketidakpastian yang di dalamnya banyak manusia menggantungkan nasib dan harapan. Dalam konteks ini, pedagang, rakyat jelata lagi-lagi selalu menjadi korban politik ekonomi yang dimotori oleh dominasi politik pencitraan.
Bentuk dari goncangan yang dialami pasar tradisional tersebut boleh jadi berupa disrupsi rantai pasok, gangguan distribusi barang dan jasa maupun problem pemasaran yang menimpa para pedagang akar rumput. Meskipun beberapa kebijakan pemerintah pernah memberikan angin segar kepada para pedagang dengan melakukan operasi pasar pada saat situasi harga beberapa komoditas merangkak naik, namun pada waktu tertentu pula tidak bisa dipungkiri bahwa dengan operasi pasar saja tak cukup mampu dalam menopang goncangan yang dialami pasar tradisional.
Kemakmuran pasar tradisional terebut dapat terjadi ketika berbagai instrumen politik benar-benar serius memberikan perlindungan kepada apa yang sedang atau akan menimpa pasar tradisional, baik itu dalam konteks menjaga stabilitas harga saat inflasi merangkak naik dan mempengaruhi aktivitas pasar tradisional, maupun saat gaya hidup publik tidak lagi ramai berbelanja ke pasar tradisional. Melampaui itu pula, sejatinya ada banyak hal lainnya yang perlu dibahas terkait dilema hingga paradoks yang dialami oleh pasar tradisional masa kini.
Benar bahwa pasar tradisional tidak dapat lepas yang namanya panggung politik. Sebab aktivitas pasar tradisional itu sendiri adalah representasi dari perpolitikan itu sendiri. Dalam pengertian yang sederhana, dalam perpolitikan ada yang disebut sistem yang didalamnya tidak jauh-jauh dari proses transaksional, ada kerugian, ada keuntungan, ada pilihan, ada penolakan, hingga ada proses tawar-menawar produk di dalamnya. Demikian seterusnya.
Namun begitu bukan berarti menjadikan pasar tradisional murni sebagai panggung bagi praktik politik pencitraan. Melalui fenomena politik pencitraan melalui media sosial yang semakin kuat hari ini sejatinya publik harus cermat dalam menilai siapa golongan politik atau elite politik yang hanya menjadikan pasar tradisional sebagai panggung pencitraan dan mana yang terus-terus berjuang untuk penguatan dan pembelaan terhadap pasar tradisional.
Keberadaan Asosiasi Pedangang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) barangkali dapat dijadikan instrumen dalam menilai golongan mana atau sosok siapa yang benar-benar peduli terhadap nasib pedagang pasar tradisional. Melalui rekam jejak APPSI pula sejatinya publik dapat mengetahui rekam jejak sosok siapa yang berkomitmen kuat dalam membela aspirasi para pedagang pasar tradisional.
Dalam konteks rekonstruksi atau cara pikir publik dalam menyambut pilpres 2024 inilah senantiasa publik dapat bijaksana dalam menentukan sikap politiknya agar berpihak pada arus politik yang bukan sekadar menjadikan pasar tradisional sebagai panggung politik pencitraan, melainkan sebagai komitmen dan pembuktian rekam jejak dalam membela eksistensi pasar tradisional.
Berdasarkan kajian strategis APPSI yang telah dilakukan, jauh sebelum Presiden Joko Widodo sukses menyikapi pasar di Solo, rekam jejak Prabowo Subianto sejatinya telah awal bergerak dalam upaya membela kepentingan ekonomi kerakyatan, terutama di sektor pedagang pasar. Sebagai buktinya, Prabowo Subianto masih tercatat dalam sejarah APPSI sebagai seorang purnawirawan jenderal TNI yang pernah menjadi ketua umum APPSI serta turun langsung bersama para pedagang pasar dalam menemukan solusi. Lantas mengapa lebih duluan melejit nama Joko Widodo dari pada Prabowo Subianto terkait citra sukses membenahi pasar? Lagi-lagi hanya perspektif takdir politik kita dapat menemukan jawabannya.
Memang tidak ada kata berhenti dalam berjuang. Pasar tradisional mesti terus diperjuangkan nasibnya melalui berbagai wadah perjuangan, terutama dari ruang politik sentral seperti dalam perhelatan pilpres 2024. Agenda penguatan pasar tradisional mesti dijadikan cetak biru dalam agenda politik pra dan pasca pilpres 2024. Sebab pasar tradisional adalah salah satu dari ujung tombaknya pembangunan ekonomi nasional.
Alasan mengapa kita mesti melek terkait pasar tradisional dan arah pilpres 2024 adalah karena saat ini gerak perekonomian Indonesia menurut para ekonom cenderung melambat di triwulan I-2023 (BPS,5/5/2023). Efek perang dagang China-Amerika masih saja menghantui perekonomian dalam negeri. Ditambah lagi perang Usia-Ukraina yang belum memberi tanda-berakhir. Berbagai komoditas-bahan baku mengalami kerwanan rantai pasok.
Beras misalnya. Kondisi sedemikian sungguh memaklumi terkait banyaknya strategi yang ditempuh lembaga-lembaga terkait seperti Bandan Pangan Nasional (Bapanas) maupun Kementerian Perdagangan RI (Kemendag) dalam mensiasati hal tersebut, seperti program meningkatkan cadangan beras pemerintah yang tampak serius sedang digarap saat ini. Hanya saja, kita patut menggarisbawahi kalimat “politik silakan bebas aktif, tetapi pasar tradisional bukan untuk politik pencitraan.” Titik!