Oleh Zulfata, Kepala Kajian Strategis DPP APPSI
Apa yang dialami oleh Pasar Tanah Abang dan kaitannya dengan bakal dilarangnya TikTok Shop dapat dianggap sebagai fenomena gunung es. Jauh sebelum apa yang dirasakan oleh pedagang Pasar Tanah Abang, bahkan seluruh pedagang pasar tradisional, mulai dari Jakarta hingga seluruh wilayah Indonesia yang pernah diteliti oleh APPSI (Asosisasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesian), semenjak pemberlakuan e-commerce dan adanya perubahan perilaku belanja masyarakat Indonesia, dari awal terus menjadi fokus kajian APPSI.
Fokus kajian ini tentunya tidak lepas dari tujuan APPSI di bawah kepemimpinan Sudaryono untuk terus berpihak dan menyuarakan aspirasi pedagang tradisional tanpa mengalami benturan dengan pelaku ekonomi modern yang bukan saja memiliki jejaringan pasar yang luas, tetapi juga memiliki modal yang kuat.
Hari ini, sikap pemerintah telah tegas menyikapi apa yang telah menjadi aspirasi pedagang pasar tradisional melalui terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Kebijakan tersebut tentunya suatu upaya pemerintah dalam mencari solusi atau menengahi fenomena para pedagang yang telah mampu beradaptasi dengan platform media sosial dengan pedagang yang barangkali belum bisa beradaptasi dengan platform e-commerce. Pada konteks ini, APPSI patut memberi apresiasi kepada pemerintah melalui Kementerian Perdagangan yang tampak terus mendukung pada penguatan iklim ekonomi kerakyatan, ekonomi yang pro-terhadap rakyat.
Namun demikian, preseden e-commerce dan varian pendekatan marketing pedagang ini mesti menjadi pembelajaran bagi bangsa untuk terus cermat dan visioner dalam menciptakan rekayasa sosial ekonomi kerakyatan agar tidak bersikap seperti pemadam kebarakan. Artinya, di situ terjadi kejadian, disitu pula diselesaikan tanpa mampu melakukan preventif sebelum besar dampak kerugiannya bagi rakyat.
Memang satu sisi para pelaku UMKM, baik itu di kalangan selebritis maupun generasi milenial saat ini tampak telah terlanjur berinvestasi dalam praktik transaksi online melalui platform e-commerce yang akan dilarang pemerintah juga terus diperhatikan tanpa hanya terjebak pada sikap pilih kasih antar golongan pedagang pasar di Indonesia.
Melampaui itu, sejatinya apa yang terjadi di balik sepinya Pasar Tanah Abang atau maraknya sepi pasar-pasar tradisional di tanah air bukan hanya soal sebatas golongan pedagang atau adanya gejala ketertinggalan strategi ekonomi kerakyatan yang telah membudaya di Indonesia, tetapi ada faktor lain yang memang telah menjadi tantangan besar bagi upaya dalam membangun daya ekonomi yang pro-rakyat.
Jauh sebelum TikTok Shop atau platform e-commerce menjamur seperti hari ini, para pendiri bangsa telah lebih awal mendiskusikan bahkan telah menjadi pandangan ekonomi politik dua arah, yaitu apakah sistem ekonomi republik ini dibiarkan terbuka bagi praktik ekonomi global? Atau sistem ekonomi Indonesia dijaga ketat oleh pemerintah tanpa ada ruang praktik ekonomi tarung bebas atau membentang karpet merah bagi pasar bebas di republik ini.
Sehingga apa yang menjadi diskursus publik hari ini terkait maraknya barang impor lagi murah dari negara asing membanjiri pasar di Indonesia. Sehingga barang-barang yang dianggap lebih terjangkau harganya yang dipasarkan melalui platform e-commerce dapat mengancam ketahanan ekonomi pedagang pasar tradisional.
Seterunya, ada juga pihak yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh TikTok Shop dan platform e-commerce lainnya secara tidak langsung telah menciptakan ketidakstabilan pasar bagi pelaku ekonomi kerakyatan. Sehingga ada yang mengambil kesimpulan bahwa jika hal tersebut tidak disikapi dengan tegas oleh pemerintah, maka para kompetitor akan terjerumus dalam suasana persaingan pasar yang tidak sehat (predatoy pricing).
Meski bagaimanapun, melalui kajian APPSI ini terus berupaya untuk mendorong pemerintah Indonesia untuk terus bersinergi dan berkolaborasi bersama semua pihak yang terkait dalam menciptakan sebuah kebijakan yang win-win solution. Sehingga kebijakan yang diterbitkan nantinya tidak hanya terkesan sebagai daya respons dalam kurun waktu yang situasional saja, terlabih saat ini Indonesia lagi panas-panasnya memasuki pesta pilpres 2024.
Akhirnya, jalan panjang memperjuangkan ekonomi kerakyatan di Indonesia masih berliku dan terjal, belum lagi soal penggusuran pasar tradisional tanpa dasar hukum, pasar tidak layak, minimnya insfrastruktur, pungutan liar hingga soal transisi sikap berbelanja rakyat Indonesia dalam menghadapi tantangan kemajuan teknologi yang semakinn tak terbendung. Untuk itu, sebesar apapun tantangannya, sungguh prinsip ekonomi kerakyatan bagi Indonesia mesti diselamatkan seoptimal mungkin, dan tidak dapat ditawar oleh alasan apapun, terlebih alasan politis dengan negara asing.